Bagaimana sebuah bangsa merasa telah dijajah selama ratusan tahun?
Tahun 1992. Saya duduk di kelas tiga
Sekolah Dasar, ketika mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa (PSPB) pertama kali diluncurkan oleh Pemerintah Orde Baru.
Sejak itu, saya jadi sering mendengar
ungkapan dari para guru bahwa penjajahan di Indonesia berlangsung selama
350 tahun. Hah 350 tahun? Pikir saya. Alangkah lamanya.
Namun tak ada yang protes dengan angka
tersebut. Semua orang (termasuk saya) seolah sudah sepakat bahwa
Indonesia memang dijajah dalam kurun waktu sebanyak itu. Hingga pada
1997, saat duduk di bangku kelas 1 SMA, saya membaca perdebatan antara
Soe Hok Gie dengan salah seorang dosen sejarahnya.
Soe sangat tidak terima Indonesia
dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Mengutip pendapat Profesor Resink
(sejarawan UI yang berkebangsaan Belanda), aktivis dan mahasiswa
sejarah itu menyebut angka tersebut hanya “dramatisasi politik” Soekarno
untuk membakar rakyat Indonesia punya jiwa.
“Dalam kenyataannya, Belanda tak pernah
bisa menguasai 100% wilayah Nusantara sampai akhir kekuasaannya, ”kata
Soe sambil menyebut beberapa pemberontakan rakyat Aceh yang masih
berlangsung hingga 1942.
Rahmat Safari, salah seorang teman saya
yang sangat menggilai sejarah, bahkan berani menyebut penjajahan Belanda
atas Indonesia hanya 4 tahun (1945-1949). Apa sebab? “Sebelum 1945,
secara de facto dan de jure, memang Republik Indonesia sudah ada?” katanya malah balik bertanya kepada saya.
Logika historis Rahmat saya pikir-pikir
memang ada benarnya juga. Nama Indonesia sendiri baru disebut-sebut di
kalangan ilmuwan ketika seorang etnolog Jerman bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menulis sebuah buku berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu).
Sebelum 1945, wilayah Indonesia memang
dikenal sebagai Hindia Belanda. Artinya India punya Belanda. Itu untuk
membedakan dengan Hindia Barat atau India yang punya Inggris. Dua nama
itu murni hasil kesepakatan antara bangsa penjajah semata.
Dan jauh sebelum ada nama Hindia
Belanda,kawasan kita lebih dikenal sebagai Nusantara (artinya diantara
pulau-pulau). Isinya terdiri dari berbagai bangsa dan kerajaan seperti
Bali, Gowa, Pajajaran, Melayu, Andalas, Pagaruyung, Mataram, Banten dan
lain sebagainya.
Kembali ke soal angka 350 itu. Tak ada
orang yang tahu dari mana angka itu muncul. Kalaupun itu dihitung sejak
kedatangan pertama kali armada Belanda pimpinan Cornelis de Houtman pada
22 Juli 1596 atau Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck
pada 1 Mei 1598, saya pikir itu tidak tepat juga. Bukankah saat pertama
kali mereka datang ke Pelabuhan Banten tujuannya hanya berbisnis semata,
bukan melakukan penjajahan? Alih-alih menjajah, mereka bahkan terikat
kesepakatan dengan Kerajaan Banten dan justru mempersembahkan upeti
kepada Sultan Banten.
Harus diingat pula, setelah berdirinya
Maskapai Perdagangan Hindia Timur (VOC) pada 1602 tak serta merta urusan
“penguasaan” ekonomi dan politik Belanda atas kawasan Nusantara
berlangsung mulus. Berbagai perlawanan terjadi ketika Belanda berniat
menganeksasi wilayah kerajaan-kerajaan yang ada saat itu.
Muncullah berbagai perang yang terjadi
di berbagai di kawasan Nusantara. Di Sumatera Barat meletus Perang
Padri (1821-1837), di Jawa Tengah dan Yogyakarta terjadi Perang
Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh I (1873-1907), Perang di Jambi
(1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok
(1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara
(1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh II
(1912-1942).
Praktis hingga 1942, Belanda tidak bisa
sepenuhnya menguasai wilayah Nusantara. Di beberapa kawasan seperti
Banten, Aceh dan sebagian wilayah Sumatera lainnya, bahkan secara de facto Belanda hanya menguasai kawasan kota semata. Sedangkan kawasan pelosok dan pedalaman, tetap dipimpin oleh para pemberontak.
Bahkan menurut sejarawan dari
Universitas Padjajaran, Nina Lubis, hingga akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20, beberapa kerajaan di Bali, dan beberapa kerajaan di Nusa
Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara
hukum internasional) dengan Belanda. Jadi masihkan kita menyebut dengan
“takjub” bahwa kita telah dijajah Belanda selama 350 tahun?
* image diambil dari http://www.blogsmap.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar