i said: "kiss me, you're beautiful - these are truly the last days" you grabbed my hand and we fell into it like a daydream or a fever - Dead Flag Blues, Godspeed You! Black Emperor.
Sore
itu saya terkaget-kaget ketika mengunjungi situs nekrophone.com.
Biasanya dalam kurun waktu tertentu saya masuk kesitu untuk sekedar
melihat kalau-kalau saja sudah ada update baru seputar informasi soal
grup hiphop favorite saya, Homicide. Sore itu saya menemukan website
mereka ditutup dan hanya menyisakan satu halaman dengan tulisan besar
"HOMICIDE IS OVER" dan diikuti dengan kata-kata diatas tadi.
Saya
sungguh menyayangkan bubarnya Homicide. Sungguh bagi saya pribadi,
Homicide merupakan salah satu grup musik (dan satu-satunya grup lokal)
yang begitu banyak memberi pengaruh bagi kehidupan saya secara personal.
Saya
pertama kali mendengarkan Homicide ketika SMP di sebuah lagu milik
Puppen, 'United Fist'. Sebelumnya saya pernah mendengar nama mereka
hanya sebatas konon, dari kakak yang sudah cukup umur melihat mereka
manggung di festival Hullabaloo ditahun 94-an. Dikala itu saya sama
sekali tidak mendengarkan hiphop atau musik populer secara umumnya,
maklum masih kelas 6 SD. Featuring mereka di album MKII milik Puppen itu
cukup keras gaungnya, hipmetal waktu itu (atau gabungan antara metal/HC
dan rap) belum begitu populer membuat lagu itu sangat stand-out pada
masanya, terlebih di lokal. Dari situ saya mencari keberadaan dua MC
yang konon tergabung dibawah nama Homicide sampai beberapa bulan
kemudian saya mendapatkan album kompilasi 'Brain Beverages' yang
berisikan band-band bawah tanah Bandung dan Homicide ada disitu sebagai
salah satunya. Lagu mereka di kompilsi itu 'State of Hate' mencuri
perhatian scene bawah tanah yang pada saat itu didominasi metal/punk/hc.
Tiga orang MC; Aszi, Ucok dan Lephe, membelalakan mata scene lokal
bahwa ada grup hiphop dengan aura pembrontakan yang begitu intens yang
membuat hiphop tak lagi memalukan di tanah air. Namun hinga mereka bubar
pun ternyata, mereka memang lebih eksis di scene HC/Punk dibandingkan
popularitas mereka di scene hiphop sendiri.
Tahun demi tahun
sesudahnya, Homicide tak pernah merilis apapun kecuali CD-R demo mereka
yang beredar terbatas, rumor mereka tak pernah solid gara-gara banyak
hal, mulai dari urusan kebanyakan terlibat di pergerakan sampai tak
punya duit. Mereka hanya eksis dibeberapa panggung kecil namun cukup
fenomenal, salah satunya saya pernah mendengar mereka berteriak 'Hiphop
is Dead!' disebuah acara rap ditahun 2000, kontroversial disaat orang2
belum mengerti frase itu. Hingga pada tahun 2002 mereka menggebrak lagi,
kali ini mereka datang dengan dua surprise; Lephe keluar dan dua MC
sisanya, Ucok dan Aszi merilis materi luar biasa, split dengan Balcony
"Hymne Penghitam Langit dan Prosa Tanpa Tuhan". Materi Homicide di split
ini lah yang beredar kemana-mana, mp3-nya dikopi dari warnet ke warnet,
PC ke PC terutama dua single klasik kontroversial mereka dari EP ini,
"Puritan" dan "Semiotika Rajatega". Sempat pula jadi E.P bertitel "Prosa
Tanpa Tuhan" dan beredar terbatas pula, dan di Malaysia dirilis ulang
dengan diganti judul menjadi "Godzkilla Necronometry".
Lirik
mereka begitu kuat, cerdas, tajam menyilet dan tanpa basa-basi menampar
status quo baik dalam bentuk tradisi hiphop lokal yang menyebalkan
hingga tradisi musik politik yang selalu begitu-begitu saja. Mereka
menyuguhkan sesuatu yang benar-benar baru bagi saya. Politik yang
menyebalkan ditangan (mungkin lebih tepat di'mulut') mereka menjadi
begitu 'rock n roll'. Style mereka berevolusi sedemikian rupa hingga
begitu intens-nya, dan tak pernah ada sebelumnya di khasanah rap tanah
air. Saya pernah baca resensi mereka yang menyebut usaha mereka
mengawinkan bahasa 'intelektual' dan bahasa 'terminal' (bahasa tak
senonoh) dengan begitu solidnya. Begitulah, Setiap sisi rima mereka
hampir tak ada celah kelemahan, kecepatan-nya yang merepet, flow ajaib,
metafor brilian, kecerdasan kata-kata membentuk sebuah thought-provoking
message yang nyaris sempurna.
Tahun-tahun berikutnya saya sempat
mendengar mereka bubar, tepatnya Aszi aka Sarkasz yang menggantung
mikropon dan meninggalkan Homicide dalam status tak jelas selama berapa
lama. namun ini kemudian dibantah lagi dengan dobrakan dahsyat
selanjutnya. The Nekrophone Dayz pun dibuat tahun 2006 awal dengan
gelombang dampak lebih gila lagi. Album semi antologi itu mendapat
review positif dari media bawah tanah hingga Rolling Stone dan Jakarta
Post. Kali ini menghadirkan track2 baru dimana Ucok sendirian
menggenggam mic tanpa menghilangkan sedikitpun kebuasan Homicide dalam
hal lirik dan musik. bahkan lagu klasik baru lahir di album ini, dari
'Rima Ababil' hingga 'Belati Kalam Profan' dan tentunya track yang
menggetarkan hati, 'Barisan Nisan'.
Dari mereka pula saya
mendapatkan perspektif baru mengenai politik. Politik yang menurut
mereka tidak selalu berurusan dengan negara, parlemen dsb. Politik
dengan 'p' kecil, bukan 'P' besar. Politik yang begitu menggairahkan,
karena mereka mendobrak sekat anatara isu politik dan isu personal
dengan begitu gamblangnya. Bahwa menentukan arah hidup kita sendiri dan
berbagi kehidupan adalah isu politik yang paling penting. Ujar Ucok
"menjalani hidup sehidup mungkin" adalah sebuah keputusan politik paling
menentukan dalam hidup kita, yang kurang lebih artinya menolak tunduk
pada arus hari ini, menolak satu blueprint tentang kehidupan, dan
menjadikan hidup sebagai sebuah 'proyek' yang hanya akan berujung
selesai jika kita mati.
Terus terang, ini cukup banyak memberi
saya arti. Homicide lebih dari sekedar memperkenalkan bentuk hiphop yang
lain, atau mengenalkan saya pada banyak wacana diluar sana. Namun semua
yang bagus dalam hidup memang cepat selesai, meskipun 13 tahun itu
tidak sebentar, saya tetap menyayangkan Homicide bubar. Saya sempat
mendengar Ucok meneruskan proyek Homicide dengan membentuk grup baru,
Trigger Mortis. Saya menaruh banyak harapan disini. Semoga proyek
musikalnya atau apapun itu, tidak berhenti sampai disini.
Adios Homicide, thanks for inspiring years..., we owe u inspirations.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar